Jokowi: Transportasi itu Seperti Pembuluh Darah

Satu titik dalam hidup saya, tidak terlupakan sampai sekarang. Siapa sangka, Media Artha Pratama (MAP) bisa melakukan perjalanan dengan sepur kluthuk “Jaladara” bersama Walikota Solo, Joko Widodo. Warga Solo yang mengetahui pemimpinnya berada di dalam kereta, spontan melambaikan tangan. Siang itu, kami yang berada di kereta berusia lebih dari 100 tahun itu, menjadi pusat perhatian mulai dari Stasiun Purwosari menuju Rumah Dinas Walikota di Loji Gandrung.

Sosok Jokowi, demikian Sang Walikota disapa, tampil sederhana bersama istrinya. Sambil mengunyah permen pemberian sang istri, ia menjelaskan tentang sepur kluthuk yang relnya berada di tengah Jalan Slamet Riyadi, yang merupakan jalan utama Kota Solo. Di sela-sela menjelaskan, Jokowi tampak kebingungan hendak membuang bungkus permen. Alhasil sampah itu, tanpa gerakan yang mencolok, dimasukkan ke dalam saku kemeja putihnya.

Pembicaraan pun berlangsung di rumah dinasnya. Selepas santap siang, Jokowi berkenan berbagi cerita tentang bagaimana ia menata transportasi di Solo. Mengingat Solo adalah kota percontohan dalam penataan transportasi yang mengarah pada perwujudan kota yang humanis. Berikut petikan wawancara saya dengan Jokowi, dua bulan sebelum ia diminta untuk mencalonkan diri menjadi calon gubernur DKI Jakarta.

Apa kata kunci dalam manajemen tranportasi?

Yang namanya manajemen transportasi itu harus saling berkaitan. Harus terpadu, tidak bisa tata ruang sendiri, transportasi sendiri. Di dalam transportasi sendiri juga harus terpadu, di antara trem, dengan BST, dengan persewaan sepeda, antara persewaan sepeda dengan bis tingkat wisata. Semuanya harus menjadi integrated programs. Dan kita sudah punya grand design yang mengarah pada visi “move people not car.” Menggerakkan masyrarakatnya bukan mobilnya. Artinya, fasilitas-fasilitas untuk mobil dan sepeda motor akan kita batasi. Parkir di ruang parkir di gedung parkir. Tidak ada tempat parkir di dalam kota, yang ada parkir mahal. Supaya orang tidak mau pake mobil dan sepeda motor, tapi naik sepeda, jalan kaki, atau naik transportasi massal.

Dalam sebuah kota, di mana tempat transportasi?

Saya kira di dalam tata ruang perkotaan, rangkingnya di atas. Semua komponen tata ruang harus memiliki koridor yang ditarik ke layanan transportasi. Ibarat tubuh, transportasi itu seperti pembuluh darah yang menghubungkan organ tubuh dengan organ yang lain.

Butuh berapa lama membangun sistem transportasi yang ideal?

 Lama dan harus dijalankan konsisten dan berkelanjutan. Tidak mungkin 10 tahun, bisa 20-30 tahun. Yang penting, kita punya konsep matang dan detail. Yang paling lama adalah mengubah kebiasaan masyarakat. Bagaimana merubah sikap, pola pikir, kalau pake mobil itu boros, mahal, macet. Dan saya melihat negara-negara maju merubah hal itu tidak setahun dua tahun. Mereka yang memiliki pendidikan yang sudah baik pun perlu waktu lebih dari 7 tahun, misalnya Singapura.

  Foto: Syarif

Kebijakan dulu atau sosialisasi dulu?

Dua-duanya harus berjalan bersama. Kebijakan dan fasilitas harus jalan bareng. Misalnya, kita sudah bangun fasilitas Batik Solo Trans, lalu diikuti dengan kebijakan untuk melarang anak sekolah naik kendaraan pribadi ke sekolah. Kemudian pelan-pelan, orang ke tempat kerja tidak boleh naik kendaraan pribadi. Selama kebijakan dan fasilitas berjalan, kegiatan sosialisasi terus dilakukan. Sosialisasi itu memang harus panjang, terus menerus, jangan ada lelahnya.    

Menurut Anda apa yang menjadi masalah pada transportasi Jakarta?

Menurut saya, karena kurang cepat mengeksekusi, padahal keadaannya sudah darurat. Sebetulnya, untuk perencanaan, design, dan gaya penataan transportasinya sudah ada, tinggal eksekusi mana yang mau diterapkan. Semua gaya ada plus minusnya, tapi harus segera dimulai.

Yang penting, yang harus ada adalah perencanaan yang detail. Itu harus ada. Itu untuk landasan dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan secara konsisten. Siapa pun yang memimpin, landasannya atau blue print-nya tetap menjadi landasan.  

Mesti ada design besarnya apa yang kita mau. Misalnya, kita ingin membuah kota yang ramah dan nyaman dengan transportasi massal yang baik, banyak sepedanya, banyak yang berjalan kaki. Kalau itu yang kita mau, segera eksekusi kebijakan yang mengarah ke kota idaman kita itu. Di Solo, saat ini banyak pihak kejar-kejaran untuk mewujudkan kota ideal yang telah ditetapkan Pemkot, ada yang mau sediakan sepeda, ada yang buat trotoar, ada pula yang mau nanam pohon.

Apa mesti pemimpin itu ahli transportasi?

Oh tidak. Saya tidak ngerti transportasi. Tapi kan bisa mengundang ahli transportasi. Suruh ajah mereka menyediakan alternatif-alternatif dalam manajemen transportasi. Tinggal si pemimpin memilih mana yang dimaui. Dan yang penting, segera dikerjakan. Yang jelas, semua kota sama saja masalahnya, tinggal kita mau cepat atau tidak untuk bertindak untuk rakyat. (ONE)

Biografi singkat

Nama             : Ir. Joko Widodo
Lahir              : Surakarta, 21 Juni 1961
Jabatan          : Walikota Kota Surakarta (Solo) untuk dua kali masa bakti 2005-2015.
Pendidikan      : Strata satu Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1985.
Profesi            : Pengusaha mebel rumah dan taman.
Penghargaan   :  Salah satu dari “10 Tokoh 2008” oleh Majalah Tempo

Berita Terkait

Komentar: